Belajar dari binatang
“Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan),
dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66)

Allah berfirman, “Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan), dan
sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi
kalian.” (an Nahl : 66). Ibrah. Ya, pelajaran. Dengan merenungi
binatang ternak, kita akan mendapatkan pelajaran. Pelajaran,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Qurthubi, yang menunjukkan
ke-Mahakuasaan, keesaan dan keagungan Allah. Ibnu Katsir melengkapinya
dengan, “La ayatan wa dalalatan `ala qudrati khaliqiha wa hikmatihi wa luthfihi wa rahmatihi, benar-benar ada tanda
kekuasaan dan bukti akan kekuasaan, kebijaksanaan, kelembutan dan
kasih sayang Penciptanya.” Ini akan bisa dirasakan oleh orang berakal
yang peka dan mampu mengeja setiap pelajaran dalam episode hidupnya di alam dunia, termasuk interaksinya dengan binatang ternak yang ada di sekelilingnya.
Ayat
yang diabadikan oleh Allah dalam al Qur’an ini tentu sangat penting
bagi manusia. Kisah Qabil menjadi salah satu buktinya. Dalam surat al
Ma’idah : 27-31, Allah mengisahkan dua
anak adam, yaitu Qabil dan Habil. Endingnya, Qabil membunuh
saudaranya, Habil. Malangnya, Qabil tidak bisa mengetahui bagaimana
cara mengubur jenazah Habil. Ia membawa kesana-kemari di atas
punggungnya hingga jenazah Habil membau, sampai-sampai burung-burung
pemakan bangkai bersiap dan menanti dimanakah Qabil akan membuang
jenazah saudaranya yang selalu diletakkan di atas punggungnya selama
–sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
Tafsiru l-Qur’ani l-`Azhim-nya— setahun lamanya. Ia tidak
tahu-menahu apa yang harus ia perbuat dengan jenazah itu, dan kemudian
ia meletakkannya di atas bumi. Tak lama berselang, Allah mengirimkan burung gagak yang menguburkan temannya yang mati. Melihatnya, Qabil berucap penuh sesal, “Aa`jiztu an akûna mitsla hadza l-ghurâb fa uwâriya sauata akhî, aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini,
lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” setelah itu, Qabil
menguburkan Habil sebagaimana burung gagak itu mengubur temannya. Qabil
mendapatkan pelajaran terpenting itu dari seekor burung gagak. Ya, dari
seekor hewan. Dari makhluk yang tidak dikaruniai akal sebagaimana
manusia. Tetapi itulah uniknya. Hewan justru memberikan banyak pelajaran
berharga kepada manusia. Persis sebagaimana tersebut dalam ayat di
atas. “Wa inna lakum fi l-an`ami la ibra(tan)”, dan sesungguhnya
pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an
Nahl : 66). Sungguh, Mahabenar Allah atas semua firman-Nya.
Ada
satu kisah menarik yang pernah dipaparkan oleh Ibnu Qayyim al
Jauziyyah. Katanya, “Dulu, pernah ada seorang lelaki –semoga Allah
memberinya hidayah—mempermainkan seekor semut kecil. Ia meletakkan kaki
belalang sebagai umpannya. Semut kecil itu tak mampu membawanya. Lalu
ia memanggil teman-temannya, tetapi kaki belalang itu tidak ada karena
diangkat oleh lelaki itu. Semut kecil itupun kebingungan, dan ia
berusaha meyakinkan teman-temannya, dan membuktikan bahwa ia tidak
bohong. Temannya seolah mendiamkan. Dan kembali tanpa menggubris semut
malang ini. Ketika semut kecil ini sendirian, si lelaki tadi
mengembalikan kaki belalang yang tadi diangkatnya. Si semut terkejut,
dan hatinya girang karena kaki belalang itu benar-benar nyata dan ia
tidak sedang bermimpi. Ia kembali ingin mengangkat sendiri, dan
membuktikan kepada teman-temannya. Karena tidak kuat,
ia memanggil teman-temannya lagi. Malang. Ketika teman-temannya
datang, lagi-lagi kaki belalang diangkat. Mereka mencari kesana-kemari
tanpa melihat sesuatu apapun. Yang lebih terpukul, tentu semut kecil
yang dianggap sebagai pendusta oleh teman-temannya. Teman-temannya pun
kembali ke tempat tinggal mereka
dengan hati penuh kecewa. Semut kecil itu bersedih. Di tengah
kesedihannya, kaki belalang itu dikembalikan lagi. Kali ini, ia
berusaha mengangkatnya sendiri. Dengan sekuat tenaga, ia kerahkan
semuanya. Tapi sia-sia. Ia tidak mampu, bahkan menggeserpun tidak
sanggup apalagi mengangkat sendiri. Dengan terpaksa, ia memanggil
teman-temannya untuk ketiga kalinya. Teman-temannya pun datang memenuhi
panggilannya. Tetapi lagi-lagi, ketika sampai tempat yang dimaksud,
mereka tidak mendapatkan apa-apa. Kosong. Tidak ada ‘mangsa’ yang
dijadikan bekal makanan mereka karena kaki itu lagi-lagi diangkat.
Akhirnya, mereka mengadili semut kecil yang dianggap sebagai pendusta
ini. Tetapi semut kecil ini bermohon belas kasihan, dan meyakinkan bahwa
ia tidak pernah berbohong, bahkan niatan hati untuk itupun tidak
pernah ada. Tetapi mau bagaimana lagi? Ia betul-betul tidak bisa
menjawab teman-temannya. Akhirnya, ia merelakan teman-temannya
menghukum dirinya. Masing-masing semut menarik kaki semut kecil yang tak
berdosa ini. Satu per satu kakinya terputus. Setelah itu, mereka
meninggalkannya sendiri.” Ah, sedih mengingat kisah ini. Betapa
jujurnya seekor semut dibandingkan manusia. Sekalipun dianggap
bersalah, ia tetap yakin bahwa ia JUJUR, tidak bohong. Tetapi
konsekwensi dari kejujuran harus berbayarkan kaki buntung sana-sini.
Dari semut, kita banyak mendapatkan pelajaran. Kesetiakawanan,
kebersamaan, tolong menolong dalam suka dan duka, pantang menyerah, dan juga kejujuran.
Apa makna ibrah yang tercantum dalam an Nahl ayat 31 di atas? Jawabannya disebutkan oleh Imam al Qurthubi dalam al Jami’ li ahkami l-Qur’an. Katanya, “Wal `ibratu ashluhâ tamtsilu s-syai’ bi s-syai’ li tu`rafa haqîqatuhu min thariqi l-musyâkalah,
asalnya ibrah adalah mentamsilkan sesuatu dengan sesuatu yang lain
agar hakikatnya bisa diketahui berdasarkan penyerupaan.” Dalam tafsir Fî Zhilâli l-Qur’an, Sayyid Quth pun menjelaskan, “Fîhâ
`ibratun li man yanzhuru ilaihâ bi l-qalbi l-maftûhi wa l-hissi
l-bashîr, wa yatadabbaru mâ warâ’ahâ min hikmatin wa min taqdirin, dalam
binatang ternak tersebut ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang
melihatnya dengan hati yang terbuka dan indra yang berbashirah, dan bagi
orang yang merenungi rahasia disebaliknya berupa hikmah dan takdir.”
Tulisan
ini hanyalah berupa tamsil dan pelajaran dari sekelumit hewan yang
bisa kita jadikan pelajaran. Mudah-mudahan kita mendapatkan manfaat
sebagaimana bermanfaatnya informasi yang diberikan burung Hudhud kepada
orang yang disegani jin dan manusia pada saat itu, Nabi Sulaiman
`alaihis salam. Semoga.
Hewan berbentuk manusia. Di
antara manusia ada yang seperti keledai. Dia berputar-putar namun
tidak mampu melangkah ke depan. Ia mencerai akherat dan menikah dengan
dunia. Ia tidak tahu apa rahasia dan misi yang harus dilakukannya
sebagai manusia ketika di dunia. Pekerjaannya hanya berpesta di siang
hari, dan menjadi bangkai di malam hari. Makan, minum, dan
bersenang-senang adalah menu hariannya. Tidak ada ibadah. Tidak ada
munajat dalam hidupnya. Ia berada dalam kegelapan yang
bertumpuk-tumpuk. Seolah menaiki langit, ada sesak dada yang
menghimpitnya tetapi ia tidak tahu bagaimana meraih hidayah-Nya.
Mahasuci Allah yang telah meninggikan derajat hewan ternak di atas
mereka. Mereka tidak berguna, bahkan bagi dirinya sendiri. “In hum illâ ka l-an`ami bal hum azhallu sabîlâ, mereka mirip dengan binatang ternak bahkan mereka lebih sesat.” (al Furqan : 44);
Ulat sutra. Di
antara manusia ada yang seperti ulat sutra. Ia mati di tengah-tengah
sulamannya. Antara dirinya dan syahwatnya saling bercengkrama. Antara
dirinya dan setannya ada hubungan yang sangat erat. Mereka membunuh
diri mereka dengan tangan sendiri. Mereka rela berjalan menuju api
neraka dengan langkah yang pasti. Persis sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah Ta`ala, “Yuhlikûna anfusahum, mereka membinasakan diri mereka sendiri.” (at Taubah : 42);
Burung onta. Di
antara manusia ada yang seperti burung onta. Ia menenggelamkan kepala
ke dalam pasir, dan mengira tidak ada seorangpun yang mengetahui
kefasikannya dan mencium kejahatannya. Ia mengaku tidak membunuh,
sementara ia berlumuran darah. Ia tidak mengaku mencuri tetapi sidik
jarinya terekam di tempat-tempat pencurian. Ia memakai baju takwa
tetapi minuman keras menetes dari mulutnya. Ia tampakkan keshalihan
amalnya sementara hatinya busuk dan tak merasakan nikmatnya munajat
pun. Dalam keramaian, ia perlihatkan amal baiknya, sementara ketika
sendirian ia melanggar larangan-Nya, tanpa malu dan bertaubat
kepada-Nya padahal Dia lebih dekat daripada tali sandalnya. Orang
seperti ini digambarkan dalam al Qur’an sebagai orang-orang yang, “Yukhadi`unallâha wa l-ladzina âmanû wa mâ yakhda`ûna illâ anfusahum wa mâ yasy`urûn, menipu
Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka menipu diri mereka
sendiri, sedang mereka tidak menyadari.” (al Baqarah : 9);
Bunglon. Di
antara manusia juga ada yang seperti bunglon. Mereka bisa masuk ke
dalam majlis orang-orang shalih. Mereka khusyu’ mendengarkan petuah dan
nasehat. Namun mereka juga sangat senang bergabung dalam majlis para
pelaku maksiat. Mereka riang gembira mendengarkan musik, dan
mengepulkan asap rokok. Hati mereka tidak akan dapat bergabung dengan
orang-orang shaleh karena jiwa mereka penuh dengan kepura-puraan. “Mudzabdzabîna baina dzâlika lâ ilâ hâula’I wa lâ ilâ hâula’I,
mereka dalam keadaan ragu-ragu di antara yang demikian (iman dan
kafir). Tidak masuk dalam golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak
pula kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (an Nisa`: 143);
Kelelawar. Di
antara manusia ada yang seperti kelelawar. Mereka merindukan kegelapan
dan benci dengan cahaya. Mereka merasa nikmat dengan maksiat dan
tersiksa dengan ketaatan. Kesadaran mereka terbalik. Yang baik
disalahkan, dan salah dibernarkan karena fitrah mereka sudah berubah.
Oleh karena itu, manusia seperti ini digambarkan, “Wa idzâ dzukirallâhu wahdahu s-syma’azzat qulûbu l-ladzîna lâ yu`minûna bi l-âkhirah,
apabila nama Allah saja yang disebut, hati orang-orang yang tidak
beriman akan kehidupan akherat merasa kesal; apabila nama yang selain
Allah disebut, mereka langsung merasa senang.” (az Zumar : 45);
Semut. Meskipun
tubuhnya kecil dan lemah, ia mampu memikul beberapa kebutuhan musim
dingin pada musim panas. Dia rela tidak merasakan nikmatnya musim panas
untuk mengumpulkan kebutuhan musim dinginnya. Ia tahu sakitnya rasa
lapar di musim dingin dan semut sadar bahwa pada musim dingin banyak
orang yang mati.
Saudaraku..,ketahuilah
bahwa dunia adalah musim panas dan akherat adalah musim dingin.
Silahkan berlelah-letih dalam beribadah untuk kehidupan abadi setelah
kematian nanti. Karena di situlah kebahagiaan hakiki. Di sanalah semua
kenikmatan surgawi tengah menanti. Ia hanya diperuntukkan bagi orang
yang berbekal sebaik-baiknya selama hidup di dunia. Hanya saja sayang,
sedikit sekali orang yang tahu;
Keledai. Ia
tahu jalan menuju rumahnya walau ia berjalan dalam kegelapan. Ketika
berada di sebuah wilayah yang asing baginya, ia dapat pulang ke
rumahnya tanpa penuntun. Ia juga mampu membedakan antara suara perintah
untuk berhenti dan suara perintah untuk berjalan. Wahai orang yang
tersesat di jalan menuju surga, wahai orang yang tidak mampu membedakan
antara suara yang mengajak ke surga dan suara yang menjerumuskan ke
dalam neraka. Anda tidak mampu mencapai seperti keledai yang tahu
tempat kembalinya. Ketika paham, anda bersedih; ketika sudah dekat
dengan kuburan, anda gemetar; ketika ajal sudah dekat, anda masih
berangan-angan. Kasihan dan malang nian dirimu wahai saudaraku…, karena
ternyata engkau tidak lebih baik daripada keledai itu…;
Julalah. Julalah
adalah seluruh binatang melata yang dagingnya boleh dimakan. Jika ia
memakan barang najis, maka dagingnya menjadi tidak baik, dan para
fuqaha’ mengharamkan dagingnya sampai ia ditahan selama 40 hari dan
diberi makananan yang halal dan baik. Setelah itu, maka daging binatang
itu halal untuk dimakan.
Betapa
banyak manusia yang tenggelam dalam keharaman, hingga kepribadiannya
rusak dan kotor. Manusia seperti ini lebih pantas untuk dikarantinakan
yang di dalamnya mereka mendapatkan nasehat-nasehat baik dan diajarkan
melakukan perbuatan terpuji. Mereka mensucikan jiwa dan memperbaiki
kepribadiannya di dalam karantina. Selain itu, dalam masa karantina, ia
memperbanyak tobat, istighfar, amal-amal shaleh, melakukan
kebaikan-kebaikan yang menghapuskan dosa-dosa, agar tidak ada lagi dosa
yang melekat dalam dirinya kecuali sudah terhapuskan dengan itu semua.
Dengan demikian mereka menjadi pantas masuk surga. Surga yang hanya
dimasuki oleh, “al ladzîna tatawaffâhumu l-malâikatu thayyibîn,
orang-orang yang diwafatkan oleh para Malaikat dalam keadaan baik.” (an
Nahl : 32). Para Malaikat pun menyambut mereka dengan mengatakan, “Salâmun `alaikum thibtum fadkhulûha khâlidîn, kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Berbahagialah dan masuklah ke dalam surga ini selamanya.” (az Zumar : 73);
Buaya. Ketika
seekor buaya selesai dari makannya, ia membuka mulutnya lebar-lebar
agar burung-burung kecil memungut sisa makanan di antara gigi-giginya.
Ia takut kuman-kuman menggerogoti giginya. Sebagian manusia digerogoti
oleh kuman sejak dulu, dan ia tidak mempersilahkan orang lain untuk
mencabut sumber penyakitnya. Dia tidak seperti buaya, tidak pula
seperti burung kecil.
Saudaraku,
jika anda tidak berbuat baik, maka berharaplah akan kebaikan. Bila
anda tidak menyampaikan khutbah, maka hadiri dan dengarkanlah. Jika
anda bukan seorang guru, maka belajarlah. Jika anda tidak mampu
memperbaiki orang lain, maka janganlah mencegah orang lain untuk
memperbaiki diri anda;
Burung merpati. Jika
pemilik merpati melepaskannya untuk mengantar surat, ia berani
menantang pancaran sinar matahari. Ia menembus jarak siang dan malam
berhadapan dengan terpaan angin, hujan, petir dan kilat. Ia terbang
tinggi karena menghindari bidikan para pemburu. Ia sangat berhati-hati
ketika turun untuk mematuk biji gandum yang bertebaran karena khawatir
terjebak oleh jaring yang akan menghalangi perjalanannya atau
mematahkan salah satu sayapnya, hingga ia tidak bisa mengantarkan
surat. Ketika sudah mengantarkan surat, ia kepakkan kedua sayapanya di
menara untuk memakan apa saja yang ada.
Wahai
pembawa risalah Allah, apa saja yang telah kalian lakukan? Berapa jauh
jarak yang telah kalian tempuh? Perangkap apa yang menghalangi
langkah-langkah kalian? Celakalah kalian. Kalian berharap surga tetapi
melupakan usaha untuk mendapatkannya. Padahal sedetika di surga lebih
baik daripada dunia dan seisinya. Lalu mengapa kalian ragu?
Jika
Anda berbuat baik kepada kucing satu kali saja, maka dia akan manja
setiap kali melihat anda; ia akan mengusapkan badannya. Setiap sel yang
ada pada tubuh anda adalah kebaikan dari Allah. Setiap rambut yang ada
dalam tubuh anda adalah nikmat dari Allah. Namun mengapa ketika Allah
telah mencurahkan cinta-Nya kepadamu, anda malah membenci-Nya? Ketika
Allah mendekatkanmu kepada-Nya, kenapa anda malah mencintai yang lain?
Padahal Allah tidak membutuhkan balasan apapun dari apa yang telah Dia
berikan kepadamu. Tidakkah anda bisa belajar dari berbagai binatang,
wahai orang yang memiliki hati? Jangan sekali-kali anda menyombongkan
kemampuan yang ada pada dirimu karena Qabil belajar cara mengubur
saudaranya dari burung gagak, dan Nabi Sulaiman menerima kabar tentang
ratu Bilqis dari burung Hudhud. Afala ta`qilun..?
Sumber :
http://kepingan-hati.blogspot.com/2011/01/belajar-dari-binatang.html
0 comments:
Posting Komentar